MATERI PAJAK
Berikut adalah PTKP (Penghasilan Tidak Kena Pajak) Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 162/PMK.011/2012 tanggal 22 Oktober 2012 tentang Penyesuaian Besarnya
Penghasilan Tidak Kena Pajak, sebagai berikut :
- Rp. 24.300.000,00
untuk diri Wajib Pajak orang pribadi;
- Rp. 2.025.000,00
tambahan untuk Wajib Pajak yang kawin;
- Rp. 24.300.000,00
tambahan untuk seorang isteri yang penghasilannya digabung dengan
penghasilan suami sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana
telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun
2008;
- Rp. 2.025.000,00
tambahan untuk setiap anggota keluarga sedarah dan keluarga semenda dalam
garis keturunan lurus serta anak angkat, yang menjadi tanggungan
sepenuhnya, paling banyak 3 (tiga) orang untuk setiap keluarga.
Ketentuan penyesuaian besarnya Penghasilan
Tidak Kena Pajak (PTKP) mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2013.
Perbandingan besarnya PTKP 2013 dengan tahun-tahun
sebelumnya :
Penerapan status PTKP ditentukan keadaan pada awal tahun
pajak atau awal bagian tahun pajak.
Misalnya, pada tanggal 1 Januari 2013 seorang Wajib Pajak berstatus kawin
dengan tanggungan 1 (satu) orang anak.Apabila anak yang kedua lahir setelah
tanggal 1 Januari 2013, besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak yang diberikan
kepada Wajib Pajak tersebut untuk tahun pajak 2013 tetap dihitung berdasarkan
status kawin dengan 1 (satu) anak.
Berikut adalah perbandingan total PTKP Berdasarkan status dan jumlah tanggungan
dari tahun-tahun sebelumnya:
Dasar hukum: PMK No.162/PMK.011/2012 tanggal 22 Oktober 2012, untuk tahun
sebelumnya dasar hukunya dapat dilihat di judul tabel diatas.
Soal 1
Haji Muhidin adalah wajib pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha.
Pada tanggal 16 Juli 2012, dia membayar PPh Pasal 25 (angsuran PPh Orang
Pribadi yang dibayar sendiri tiap bulan untuk tahun 2012 sebesar Rp. 6 juta)
sekaligus untuk masa Maret 2012, April 2012, dan Mei 2012 sebesar Rp. 18 juta,
serta melaporkannya pada tanggal 20 Juli 2012. Sanksi administrasi apa saja
yang dikenakan terhadap pembayaran PPh Pasal 25 oleh Haji Muhidin tersebut?
Berapa jumlahnya?
Soal 2 (revisi)
PT. Indonesia Solutions adalah PKP yang sudah dikukuhkan pada tanggal 15
Januari 1995. Administrasi perpajakannya diketahui sbb :
- SPT Masa PPN untuk Masa Agustus 2011 tidak dimasukan walaupun sudah ditegur
- Wajib Pajak juga tidak melakukan pembukan sebagaimana disebutkan dalamPasal
28 dan 29
Terhadap Wajib Pajak ini dilakukan pemeriksaan dan menghasilkan Kurang Bayar
sebesar Rp 200.000.000,00. Hitung SKPKB yang diterbitkan Januari 2012
Soal 3
PT. Langgeng Makmur memasukan SPT Tahunan 2011 pada tanggal 30 April 2012
dengan kondisi Kurang Bayar Rp 100.000.000 yang disetor tanggal 30 April 2012.
Pada tanggal 10 Juni 2012 PT. Langgeng Makmur melakukan pembetulan SPT Tahunan
dengan kondisi Kurang bayar Rp 200.000.000.
Pajak yang kurang bayar Rp 100.000.000 dibayar tanggal 11 Juni 2012
Berapa STP yang harus dibayar oleh PT. Langgeng Makmur
Soal 4
PT. Makmur Bersama sedang dilakukan pemeriksaan dan belum dilakukan penyidikan,
tetapi PT Makmur Bersama dengan kemauan sendiri mengungkapkan ketidakbenaran
pengisian SPT Tahunannya sehingga SPT Tahunannya terdapat kurang bayar Rp
250.000.000.
Dari kasus ini hitung SKPKB berikut sanksinya
Koreksi Fiskal
PT. Artho Moro, sebuah Perusahaan dalam
negeri yang bergerak dalam bidang perdagangan peralatan kantor.
Berikut ini adalah catatan perusahaan
selama tahun fiskal 2011:
Perusahaan menggunakan metoda FIFO
untuk pencatatan nilai persediaan menurut akuntansi maupun fiskal.
Data penjualan, pembelian barang
dagangan dan persedian sebagai berikut:
- Persediaan, 1 Jan
2011
Rp 48.000.000
- Persediaan, 31 Des
2011 Rp
90.000.000
- Pembelian
Rp. 832.300.000
Penjualan selama tahun 2011 sebesar
100.000 unit, yang terdiri dari 80.000 unit terjual dengan harga @Rp12.500;
sisanya merupakan penjualan kepada pihak yang mempunyai hubungan istimewa
dengan harga 20% lebih rendah dari harga pasar.
Biaya operasional selama tahun 2011
adalah:
- Biaya Depresiasi Rp.
81.250.000; Metode yang digunakan double decline method baik untuk
kepentingan akuntansi maupun fiskal.
- Biaya gaji Rp 82.525.750, termasuk
di dalamnya penggantian pengobatan sebesar Rp 2.000.000
- Biaya sewa Rp 20.000.000
termasuk di dalamnya tunjangan rumah bagi karyawan Rp 2.500.000 (diberikan
dalam bentuk uang).
- Biaya transportasi Rp 5.850.000
termasuk di dalamnya pembelian bensin untuk piknik keluarga Direktur Rp
1.500.000
- Biaya listrik, telpon dan air Rp
7.200.000 termasuk biaya telepon rumah Direktur Rp 1.200.000
- Perusahaan mengeluarkan biaya
sumbangan bagi karyawan yang melangsungkan pernikahan, melahirkan atau
meninggal dunia. Biaya tersebut selama 2011 sebesar Rp1.000.000.
- Biaya administrasi kantor Rp
1.785.200
- Biaya Entertaiment Rp. 12.000.000
(tidak ada daftar Nominatif)
- Menerima jasa giro/ bunga bank Rp
1.350.500. (PPh Final)
- Menerima dividen dari PT. Sri
Rejeki, Perusahaan dalam negeri, sebesar Rp 10.000.000. (PPh Final)
- Selama tahun 2011 perusahaan telah
membayar PPh Ps. 25 (PPh yang dibayar di muka) Rp 18.260.000.
Berdasarkan
data tersebut:
1.Susunlah laporan laba rugi menurut
laporan keuangan akuntansi maupun fiskal untuk tahun 2011
2.Besarnya jumlah pajak terutang dan
PPh yang masih harus dibayar untuk tahun 2011.
Terdapat penghasilan tidak teratur
Penghasilan tidak teratur (tidak termasuk dalam penghasilan teratur) adalah
keuntungan selisih kurs dari utang/piutang dalam mata uang asing dan keuntungan
dari pengalihan harta sepanjang bukan merupakan penghasilan dari kegiatan usaha
pokok serta penghasilan lainnya yang bersifat insidential. (Keputusan Direktur
Jendral Pajak Nomor : KEP-537/PJ/2000 tentang Penghitungan – Besarnya Angsuran
Pajak dalam Tahun Pajak Berjalan Dalam hal-hal tertentu) .
Soal
Tuan Budi status kawin dengan 3 anak memperoleh penghasilan netto seluruhnya
selama tahun 2010 sebasar Rp. 516.800.000; Dari jumlah tersebut terdapat
penghasilan tidak teratur dari mengontrakkan 2 rumah sebesar Rp 60.000.000;
PPh yang dipotong/dipungut oleh pihak lain selama tahun 2010 terdiri dari:
• PPh Pasal 21 sebesar Rp16.500.000;
• PPh Pasal 22 sebesar Rp18.750.000;
• PPh Pasal 24 sebesar Rp16.000.000;
• PPh Pasal 23 (atas kontrak 2 rumah sebesar Rp. 60.000.000;) sebesar Rp.
6.000.000;
Tentukan angsuran PPh pasal 25 Tahun pajak berikutnya
PERATURAN
MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 80/PMK.03/2010
TENTANG
PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 184/PMK.03/2007
TENTANG PENENTUAN TANGGAL JATUH TEMPO PEMBAYARAN DAN
PENYETORAN PAJAK , PENENTUAN TEMPAT PEMBAYARAN PAJAK, DAN TATA
CARA PEMBAYARAN, PENYETORAN DAN PELAPORAN PAJAK, SERTA TATA CARA
PENGANGSURAN DAN PENUNDAAN PEMBAYARAN PAJAK
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang :
- bahwa penetapan batas waktu
pembayaran dan penyetoran pajak telah diatur dalam Peraturan Menteri
Keuangan Nomor 184/PMK.03/2007 tentang Penentuan
Tanggal Jatuh Tempo Pembayaran dan Penyetoran Pajak, Penentuan Tempat
Pembayaran Pajak, dan Tata Cara Pembayaran, Penyetoran dan Pelaporan
Pajak, serta Tata Cara Pengangsuran dan Penundaan Pembayaran Pajak yang
merupakan peraturan pelaksanaan dari ketentuan Pasal 3 ayat (3c), Pasal 9
ayat (1) dan ayat (4), dan Pasal 10 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983
tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa
kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009
(Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan);
- bahwa berdasarkan ketentuan
Pasal 49 Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, diatur
bahwa ketentuan dalam Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan berlaku pula bagi undang-undang perpajakan lainnya, kecuali
apabila ditentukan lain;
- bahwa selain pengaturan
mengenai penetapan batas waktu pembayaran dan penyetoran pajak sebagaimana
tersebut pada huruf a, sesuai ketentuan yang memberikan pengecualian
sebagaimana tersebut pada huruf b, telah diatur batas waktu pembayaran dan
penyetoran PPN berdasarkan Pasal 15A Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983
tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas
Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009
yaitu paling lama akhir bulan berikutnya setelah berakhirnya Masa Pajak
dan sebelum Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai disampaikan;
- bahwa dalam rangka penyelarasan
ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan sebagaimana dimaksud dalam huruf b dan Undang-Undang Pajak
Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud dalam huruf c, perlu melakukan
penyesuaian terhadap ketentuan mengenai penentuan tanggal jatuh tempo
pembayaran dan penyetoran pajak sebagaimana dimaksud pada huruf a;
- bahwa berdasarkan pertimbangan
sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d, perlu
menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Perubahan atas Peraturan
Menteri Keuangan Nomor 184/PMK.03/2007 tentang Penentuan
Tanggal Jatuh Tempo Pembayaran dan Penyetoran Pajak, Penentuan Tempat
Pembayaran Pajak, dan Tata Cara Pembayaran, Penyetoran dan Pelaporan
Pajak, serta Tata Cara Pengangsuran dan Penundaan Pembayaran Pajak;
Mengingat :
- Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983
tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3262) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 62, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4999);
- Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983
tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas
Barang Mewah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 51,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3264) sebagaimana telah
beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 150, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5069);
- Keputusan Presiden Nomor 84/P
Tahun 2009;
- Peraturan Menteri Keuangan
Nomor 184/PMK.03/2007 tentang Penentuan Tanggal
Jatuh Tempo Pembayaran dan Penyetoran Pajak, Penentuan Tempat Pembayaran
Pajak, dan Tata Cara Pembayaran, Penyetoran dan Pelaporan Pajak, serta
Tata Cara Pengangsuran dan Penundaan Pembayaran Pajak;
MEMUTUSKAN
:
Menetapkan :
PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI KEUANGAN
NOMOR 184/PMK.03/2007 TENTANG PENENTUAN TANGGAL
JATUH TEMPO PEMBAYARAN DAN PENYETORAN PAJAK, PENENTUAN TEMPAT PEMBAYARAN PAJAK,
DAN TATA CARA PEMBAYARAN, PENYETORAN DAN PELAPORAN PAJAK, SERTA TATA CARA
PENGANGSURAN DAN PENUNDAAN PEMBAYARANPAJAK.
Pasal I
Beberapa ketentuan dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 184/PMK.03/2007 tentang Penentuan Tanggal
Jatuh Tempo Pembayaran dan Penyetoran Pajak, Penentuan Tempat Pembayaran Pajak,
dan Tata Cara Pembayaran, Penyetoran dan Pelaporan Pajak, serta Tata Cara
Pengangsuran dan Penundaan Pembayaran Pajak diubah sebagai berikut:
1.
|
Ketentuan Pasal 1 angka 1, angka
2, dan angka 3 diubah, sehingga Pasal 1 berbunyi sebagai berikut:
Pasal
1
|
|
Dalam Peraturan Menteri Keuangan ini, yang dimaksud dengan:
- Undang-Undang Ketentuan Umum
dan Tata Cara Perpajakan yang selanjutnya disebut Undang-Undang KUP
adalah Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983
tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah
beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009.
- Undang-Undang Pajak
Penghasilan yang selanjutnya disebut Undang-Undang PPh adalah Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983
tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah
terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008.
- Undang-Undang Pajak
Pertambahan Nilai yang selanjutnya disebut Undang-Undang PPN adalah Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983
tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas
Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009.
- Pajak Penghasilan yang
selanjutnya disingkat PPh adalah Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang PPh.
- Pajak Pertambahan Nilai yang
selanjutnya disingkat PPN adalah Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana
dimaksud dalam Undang Undang PPN.
- Pajak Penjualan atas Barang
Mewah yang selanjutnya disingkat PPnBM adalah Pajak Penjualan atas
Barang Mewah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang PPN.
|
2.
|
Ketentuan Pasal 2 ayat (13), ayat
(14), dan ayat (15) diubah, di antara ayat (13) dan ayat (14) disisipkan 1
(satu) ayat yakni ayat (13a), dan di antara ayat (14) dan ayat (15)
disisipkan 1 (satu) ayat yakni ayat (14a), sehingga Pasal 2 berbunyi sebagai
berikut:
Pasal
2
|
|
(1)
|
PPh
Pasal 4 ayat (2) yang dipotong oleh Pemotong Pajak Penghasilan harus
disetor paling lama tanggal 10 (sepuluh) bulan berikutnya setelah Masa
Pajak berakhir kecuali ditetapkan lain oleh Menteri Keuangan.
|
(2)
|
PPh
Pasal 4 ayat (2) yang harus dibayar sendiri oleh Wajib Pajak harus disetor
paling lama tanggal 15 (lima belas) bulan berikutnya setelah Masa Pajak
berakhir kecuali ditetapkan lain oleh Menteri Keuangan.
|
(3)
|
PPh
Pasal 15 yang dipotong oleh Pemotong PPh harus disetor paling lama tanggal
10 (sepuluh) bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir.
|
(4)
|
PPh
Pasal 15 yang harus dibayar sendiri harus disetor paling lama tanggal 15
(lima belas) bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir.
|
(5)
|
PPh
Pasal 21 yang dipotong oleh Pemotong PPh harus disetor paling lama tanggal
10 (sepuluh) bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir.
|
(6)
|
PPh
Pasal 23 dan PPh Pasal 26 yang dipotong oleh Pemotong PPh harus disetor
paling lama tanggal 10 (sepuluh) bulan berikutnya setelah Masa Pajak
berakhir.
|
(7)
|
PPh
Pasal 25 harus dibayar paling lama tanggal 15 (lima belas) bulan berikutnya
setelah Masa Pajak berakhir.
|
(8)
|
PPh
Pasal 22, PPN atau PPN dan PPnBM atas impor harus dilunasi bersamaan dengan
saat pembayaran Bea Masuk dan dalam hal Bea Masuk ditunda atau dibebaskan,
PPh Pasal 22, PPN atau PPN dan PPnBM atas impor harus dilunasi pada saat
penyelesaian dokumen pemberitahuan pabean impor.
|
(9)
|
PPh
Pasal 22, PPN atau PPN dan PPnBM atas impor yang dipungut oleh Direktorat
Jenderal Bea dan Cukai, harus disetor dalam jangka waktu 1 (satu) hari
kerja setelah dilakukan pemungutan pajak.
|
(10)
|
PPh
Pasal 22 yang dipungut oleh bendahara harus disetor pada hari yang sama
dengan pelaksanaan pembayaran atas penyerahan barang yang dibiayai dari
belanja Negara atau belanja Daerah, dengan menggunakan Surat Setoran Pajak
atas nama rekanan dan ditandatangani oleh bendahara.
|
(11)
|
PPh
Pasal 22 atas penyerahan bahan bakar minyak, gas, dan pelumas kepada
penyalur/agen atau industri yang dipungut oleh Wajib Pajak badan yang
bergerak dalam bidang produksi bahan bakar minyak, gas, dan pelumas, harus
disetor paling lama tanggal 10 (sepuluh) bulan berikutnya setelah Masa
Pajak berakhir.
|
(12)
|
PPh
Pasal 22 yang pemungutannya dilakukan oleh Wajib Pajak badan tertentu
sebagai Pemungut Pajak harus disetor paling lama tanggal 10 (sepuluh) bulan
berikutnya setelah Masa Pajak berakhir.
|
(13)
|
PPN
yang terutang atas kegiatan membangun sendiri harus disetor oleh orang
pribadi atau badan yang melakukan kegiatan membangun sendiri paling lama
tanggal 15 (lima belas) bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir.
|
(13a)
|
PPN
yang terutang atas pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud dan/atau
Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean harus disetor oleh orang pribadi
atau badan yang memanfaatkan Barang Kena Pajak tidak berwujud dan/atau Jasa
Kena Pajak dari luar Daerah Pabean, paling lama tanggal 15 (lima belas)
bulan berikutnya setelah saat terutangnya pajak.
|
(14)
|
PPN
atau PPN dan PPnBM yang pemungutannya dilakukan oleh Bendahara Pengeluaran
sebagai Pemungut PPN, harus disetor paling lama tanggal 7 (tujuh) bulan
berikutnya setelah Masa Pajak berakhir.
|
(14a)
|
PPN
atau PPN dan PPnBM yang pemungutannya dilakukan oleh Pejabat Penandatangan
Surat Perintah Membayar sebagai Pemungut PPN, harus disetor pada hari yang
sama dengan pelaksanaan pembayaran kepada Pengusaha Kena Pajak Rekanan
Pemerintah melalui Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara.
|
(15)
|
PPN
atau PPN dan PPnBM yang pemungutannya dilakukan oleh Pemungut PPN selain
Bendahara Pemerintah yang ditunjuk, harus disetor paling lama tanggal 15
(lima belas) bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir.
|
(16)
|
PPh
Pasal 25 bagi Wajib Pajak dengan kriteria tertentu sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 3 ayat (3b) Undang-Undang KUP yang melaporkan beberapa Masa
Pajak dalam satu Surat Pemberitahuan Masa, harus dibayar paling lama pada
akhir Masa Pajak terakhir.
|
(17)
|
Pembayaran
masa selain PPh Pasal 25 bagi Wajib Pajak dengan kriteria tertentu
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3b) Undang-Undang KUP yang
melaporkan beberapa masa pajak dalam satu Surat Pemberitahuan Masa, harus
dibayar paling lama sesuai dengan batas waktu untuk masing-masing jenis
pajak.
|
|
3.
|
Di antara Pasal 2 dan Pasal 3 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 2A
sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal
2A
|
PPN atau PPN dan PPnBM yang terutang dalam satu Masa Pajak harus disetor
paling lama akhir bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir dan sebelum
Surat Pemberitahuan Masa PPN disampaikan.
|
4.
|
Ketentuan Pasal 7 ayat (1) dan ayat (3) diubah, di antara ayat (1) dan ayat
(2) disisipkan 3 (tiga) ayat yakni ayat (1a), ayat (1b) dan ayat (1c), dan di
antara ayat (3) dan (4) disisipkan 1 (satu) ayat yakni ayat (3a) sehingga
Pasal 7 berbunyi sebagai berikut:
Pasal
7
|
|
(1)
|
Wajib
Pajak orang pribadi atau badan, baik yang melakukan pembayaran pajak
sendiri maupun yang ditunjuk sebagai Pemotong atau Pemungut PPh,
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4),
ayat (5), ayat (6), ayat (7), ayat (11), dan ayat (12) wajib menyampaikan
Surat Pemberitahuan Masa paling lama 20 (dua puluh) hari setelah Masa Pajak
berakhir.
|
(1a)
|
Pengusaha
Kena Pajak wajib melaporkan PPN atau PPN dan PPnBM yang telah disetor
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (13) dan ayat (13a), serta Pasal
2A, dengan menggunakan Surat Pemberitahuan Masa PPN ke Kantor Pelayanan
Pajak tempat Pengusaha Kena Pajak dikukuhkan, paling lama akhir bulan
berikutnya setelah Masa Pajak berakhir.
|
(1b)
|
Orang
pribadi atau badan yang bukan Pengusaha Kena Pajak wajib melaporkan Pajak
Pertambahan Nilai yang telah disetor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
ayat (13) dengan menggunakan lembar ketiga Surat Setoran Pajak ke Kantor
Pelayanan Pajak yang wilayahnya meliputi tempat bangunan tersebut, paling
lama akhir bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir.
|
(1c)
|
Orang
pribadi atau badan yang bukan Pengusaha Kena Pajak wajib melaporkan Pajak
Pertambahan Nilai yang telah disetor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
ayat (13a) dengan menggunakan lembar ketiga Surat Setoran Pajak ke Kantor
Pelayanan Pajak yang wilayahnya meliputi tempat tinggal orang pribadi atau
tempat kedudukan badan tersebut, paling lama akhir bulan berikutnya setelah
saat terutangnya pajak.
|
(2)
|
Pemungut
Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (9) wajib melaporkan hasil
pemungutannya secara mingguan paling lama pada hari kerja terakhir minggu
berikutnya.
|
(3)
|
Pemungut
Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (10) wajib melaporkan hasil
pemungutannya paling lama 14 (empat belas) hari setelah Masa Pajak
berakhir.
|
(3a)
|
Pemungut
PPN wajib melaporkan PPN atau PPN dan PPnBM yang telah disetor sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (14) dan ayat (15) ke Kantor Pelayanan Pajak
tempat Pemungut PPN terdaftar paling lama akhir bulan berikutnya setelah
Masa Pajak berakhir.
|
(4)
|
Wajib
Pajak dengan kriteria tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (16)
dan ayat (17) yang melaporkan beberapa Masa Pajak dalam satu Surat
Pemberitahuan Masa, wajib menyampaikan Surat Pemberitahuan Masa paling lama
20 (dua puluh) hari setelah berakhirnya Masa Pajak terakhir.
|
|
BERITA
NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2010 NOMOR 169
Kewajiban
Perpajakan Yang Menjadi Kewajiban WP
- Kewajiban
perpajakan yang menjadi kewajiban adalah:
- Mendaftarkan diri pada KPP yang wilayah kerjanya
meliputi tempat tinggal.
- Melaporkan usahanya pada KPP yang wilayah kerja
meliputi tempat kegiatan usaha (karena peredaran brotonya telah melampui
Rp. 600 juta)
- Menyelenggarakan pembukuan dan atau melakukan
pencatatan apabila memeilih menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan
Netto (karena peredaran brutonya kurang dari Rp. 4,8 milyar)
- Menghitung, memperhitungkan, membayar dan melaporkan
pajak terutang dengan tidak menggantungkan pada adanya Surat Ketetapan
Pajak sesuai system Self Assessment
- Sesuai dengan pasal 39 (1) huruf a UU KUP, setiap orang
yang dengan sengaja tidak mendaftarkan diri untuk diberikan NPWP atau
tidak melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai pengusaha kena pajak
sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan Negara dipidana dengan
pidana penjara paling singkat 6 bulan dan paling lama 6 tahun dan denda
paling sedikit 2 kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar
dan paling banyak 4 kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang
dibayar.
- Sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan
No.22/PMK.03/2008, seorang kuasa bukan konsultan pajak harus memenuhi
persyaratan sbb:
- memiliki NPWP
- telah menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak
Penghasilan (SPT Tahunan PPH) tahun pajak terakhir
- menguasai kententuan peraturan perundang undangan
perpajakan, dibuktikan dengan kepemilikan sertifikat brevet
- memiliki surat kuasa kusus dari wajib pajak yang
memberi kuasa
Sesuai dengan PMK 22/PMK.03/2008,
seseorang yang bukan konsultan pajak termasuk karyawan wajib pajak hanya dapat
menerima kuasa dari:
a. Wajib pajak orang pribadi yang tidak menjalankan usaha atau
pekerjaan bebas
b. Wajib pajak orang pribadi yang menjalankan usaha atau
pekerjaan bebas dengan peredaran bruto atau penerimaan bruto tidak lebih dari
Rp. 1,8 milyar dalam satu tahun
c. Wajib pajak badan dengan peredaran bruto tidak lebih dari
Rp. 2,4 milyar dalam satu tahun
d. Dengan asumsi yang dimaksud dengan sertifikat brevet adalah
sertifikat konsulatan pajak maka yang bersangkutan tidak boleh memberi kuasa
kepada karyawanya yang belum lulus sertifikasi, karena karyawan tersebut tidak
memenuhi persyaratan sebagai kuasa bukan konsultan pajak.
- Sesuai dengan Pasal 2 (2) UU KUP, setiap wqjib pajak
sebagai pengusaha yang dikenai pajak berdasarkan UU PPN 1984 dan
perubahanya wajib melaporkan usahanya pada Kantor Dirjen Pajak yang
wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal atau tempat kedudukan pengusaha
dan tempat kegiatan usaha dilakukan untuk dikukuhkan menjadi Pengusaha
Kena Pajak (PKP)
Sesuai dengan KMK No.57/KMK.03/2003,
pengusaha kecil adalah pengusaha yang selama satu tahun buku melakukan
penyerahan barang kena pajak dan/ atau jasa kena pajak dengan jumlah peredaran
bruto tidak lebih dari Rp. 600 juta. Pengusaha kecil wajib melaporkan usahnya
untuk di kukuhkan sebagai pengusaha kena pajak (PKP), apabila sampai dengan
suatu bulan dalam tahun buku jumlah peredaran bruto / penerimaan brutonya
melebihi Rp. 600 juta. Pengusaha tersebut wajib melaporkan usahanya untuk
dikukuhkan sebagai PKP paling lambat pada akhir bulan berikutnya.
Dalam hal pengusaha tidak memenuhi
kewajiban sesuai dengan batas waktu yang ditetapkan, maka saat pengukuhan
adalah awal bulan berikutnya setelah bulan batas pengukuhan. Kewajiban untuk
memungut, menyetorkan, dan melaporkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN/PPN BM) yang
terutang oleh pengusaha dimulai saat dikukuhkan sebagai PKP.
Amanda harus dikukuhkan sebagai
pengusha kena pajak (PKP) karena peredaran brutonya telah melebihi Rp. 600 juta
sebagai syarat untuk dikukuhkan sebagai PKP.
Objek,
Tarif, dan Pemungut PPh Pasal 22
Pajak Penghasilan Pasal 22 atau
disingkat PPh Pasal 22 adalah salah satu bentuk pemotongan dan pemungutan Pajak
Penghasilan yang dilakukan oleh fihak lain terhadap Wajib Pajak. Pengenaan PPh
Pasal 22 dikenakan terhadap kegiatan perdagangan barang. Titik pengenaannya ada
yang dilakukan pada saat penjualan ada pula pada saat pembelian. Pada umumnya
pengenaan PPh Pasal 22 ini dikenakan terhadap perdagangan barang yang dianggap
“menguntungkan” sehingga penjual atau pembelinya kemungkinan besar akan
mengalami keuntungan dan dengan demikian,
pantaslah atas Wajib Pajak tersebut dikenakan cicilan pembayaran Pajak
Penghasilan.
Ketentuan PPh Pasal 22 relatif lebih sulit dibandingkan dengan ketentuan
tentang pemotongan PPh yang lain seperti PPh Pasal 23 ataupun PPh Pasal 21. Hal
ini disebabkan karena sangat bervariasinya objek, pemungut dan bahkan tarifnya.
Di bawah ini saya coba ringkaskan objek, tarif dan Pemungut PPh Pasal 22
tersebut.
Pemungut dan Objek PPh Pasal 22
1. Bank Devisa dan Direktorat Jenderal Bea dan cukai, atas impor barang
2. Direktorat Jenderal Perbendaharaan, Bendahara Pemerintah baik di tingkat
pusat maupun di tingkat Daerah, yang melakukan pembayaran atas pembelian
barang.
3. Badan Usaha Milik Negara dan Badan Usaha Milik Daerah, yang melakukan
pembelian barang dengan dana yang bersumber dari belanja negara (APBN) dan atau
belanja daerah (APBD), kecuali badan-badan tersebut pada angka 4.
4. Bank Indonesia (BI), PT Perusahaan Pengelola Aset (PPA), Perum Badan Urusan
Logistik (BULOG), PT Telekomunikasi Indonesia (Telkom), PT Perusahaan Listrik
Negara (PLN), PT Garuda Indonesia, PT Indosat, PT Krakatau steel, PT
Pertamnina, dan bank-bank BUMN yang melakukan pembelian barang yang dananya
bersumber dari APBN maupun non-APBN.
5. Badan Usaha yang bergerak dalam bidang usaha industri semen, industri rokok,
industri kertas, Industri baja, dan industri otomotif, yang ditunjuk oleh
Kepala Kantor Pelayanan Pajak, atas penjualan hasil produksinya didalam negeri.
6. Produsen atau importir bahan bakar minyak, gas, dan pelumas atas penjualan
bahan bakar minyak, gas, dan pelumas.
7. Industri dan eksportir yang bergerak dalam sektor perhutanan, perkebunan,
pertanian, dan perikanan yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal Pajak atas pembelian
bahan-bahan untuk keperluan industri atau ekspor mereka dari pedagang
pengumpul.
Tarif PPh Pasal 22
1. Atas impor yang menggunakan Angka Pengenal Impor (API), sebesar 2,5% (dua
setengah persen) dari nilai impor; yang tidak menggunakan API, sebesar 7,5%
(tujuh setengah persen) dari nilai impor; dan barang yang tidak dikuasai,
sebesar 7,5% (tujuh setengah persen) dari harga jual lelang;
2. Atas pembelian barang atau pembayaran yang dilakukan oleh Direktorat
Jenderal Perbendaharaan, Bendahara Pemerintah baik di tingkat pusat maupun di
tingkat Daerah sebesar 1,5% (satu setengah persen) dari harga pembelian.
3. Atas pembelian barang yang dilakukan oleh Badan Usaha Milik Negara dan Badan
Usaha Milik Daerah dengan dana yang bersumber dari belanja negara (APBN) dan
atau belanja daerah (APBD) sebesar 1,5% (satu setengah persen) dari harga
pembelian.
4. Atas pembelian barang yang dilakukan oleh Bank Indonesia (BI), PT Perusahaan
Pengelola Aset (PPA), Perum Badan Urusan Logistik (BULOG), PT Telekomunikasi
Indonesia (Telkom), PT Perusahaan Listrik Negara (PLN), PT Garuda Indonesia, PT
Indosat, PT Krakatau steel, PT Pertamnina, dan bank-bank BUMN yang dananya
bersumber dari APBN maupun non-APBN sebesar 1,5% (satu setengah persen) dari
harga pembelian.
5. Atas penjualan semen oleh Badan Usaha yang bergerak dalam bidang usaha
industri semen sebesar 0,25% dari Dasar Pengenaan Pajak (DPP) PPN
6. Atas penjualan semen oleh Badan Usaha yang bergerak dalam bidang usaha
industri rokok sebesar 0,15% dari Harga Bandrol dan bersifat final.
7. Atas penjualan semen oleh Badan Usaha yang bergerak dalam bidang usaha
industri kertas sebesar 0,1% dari Dasar Pengenaan Pajak (DPP) PPN
8. Atas penjualan semen oleh Badan Usaha yang bergerak dalam bidang usaha
industri baja sebesar 0,3% dari Dasar Pengenaan Pajak (DPP) PPN
9. Atas penjualan semen oleh Badan Usaha yang bergerak dalam bidang usaha
industri otomotif sebesar 0,45% dari Dasar Pengenaan Pajak (DPP) PPN
10. Besarnya Pungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 atas penjualan hasil produksi oleh
Pertamina serta badan usaha lainnya yang bergerak dalam bidang bahan bakar
minyak jenis premix, super TT dan gas adalah sebagai berikut: SPBU Swastanisasi
SPBU Pertamina
————————– —————————-
Premium 0,3% dari penjualan 0,25% dari penjualan
Solar 0,3% dari penjualan 0,25% dari penjualan
Premix/Super TT 0,3% dari penjualan 0,25% dari penjualan
Minyak Tanah 0,3 % dari penjualan
Gas LPG 0,3 % dari penjualan
Pelumas 0,3 % dari penjualan
11. Pasal 22 yang atas pembelian bahan-bahan oleh Industri dan eksportir yang
bergerak dalam sektor perhutanan, perkebunan, pertanian, dan perikanan yang
ditunjuk oleh Direktur Jenderal Pajak atas pembelian bahan-bahan untuk
keperluan industri atau ekspor mereka adalah sebesar 0,5% (nol koma lima
persen) dari
harga pembelian tidak termasuk PPN
Dasar Hukum :
1. Pasal 22 Undang-undang Pajak Penghasilan
2. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 254/KMK.03/2001
3. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 392/KMK.03/2001
4. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 236/KMK.03/2003
5. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 154/PMK.03/2007
6. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 08/PMK.03/2008
7. Keputusan Dirjen Pajak Nomor KEP-417/PJ./2001
8. Keputusan Dirjen Pajak Nomor KEP-401/PJ./2001
9. Keputusan Dirjen Pajak Nomor KEP-529/PJ./2001
10. Keputusan Dirjen Pajak Nomor KEP-69/PJ./1995
11. Keputusan Dirjen Pajak Nomor KEP-01/PJ./1996
12. Keputusan Dirjen Pajak Nomor KEP-25/PJ./2003
Ketentuan
Baru PPh Pasal 22
Pada tanggal 31 Agustus 2010, telah
terbit Peraturan Menteri Keuangan Nomor 154/PMK.03/2010 tentang Pemungutan
Pajak Penghasilan Pasal 22 Sehubungan Dengan Pembayaran Atas Penyerahan Barang
dan Kegiatan di Bidang Impor Atau Kegiatan Usaha di Bidang Lain. Peraturan
Menteri Keuangan ini terbit sebagai peraturan pelaksanaan Pasal 22 ayat (2)
Undang-undang PPh dan menggantikan Keputusan Menteri Keuangan Nomor
254/KMK.03/2001 sebagaimana telah bebarapa kali diubah terakhir dengan
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 210/PMK.03/2008.
Beberapa perubahan mendasar akibat berlakunya Peraturan Menteri Keuangan yang
baru ini
saya uraikan di bawah ini.
PPh Pasal 22 Atas Pembelian Barang Oleh Pemerintah
Peraturan Menteri Keuangan yang mulai berlaku tanggal 31 Agustus 2010 ini
membawa beberapa perubahan dalam pemungutan PPh Pasal 22, salah satunya adalah
pemungutan PPh Pasal 22 atas pembelian barang oleh pemerintah. Dirjen
Perbendaharaan tidak lagi menjadi pemungut PPh Pasal 22 digantikan oleh Kuasa
Pengguna Anggaran (KPA) atau Pejabat Penerbit SPM. Selengkapnya pemungut PPh
Pasal 22 atas pembelian barang oleh pemerintah ini adalah :
1. bendahara pemerintah dan Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) sebagai pemungut
pajak pada Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Instansi atau lembaga
Pemerintah dan lembaga-lembaga negara lainnya
2. bendahara pengeluaran untuk pembayaran yang dilakukan dengan mekanisme uang
persediaan (UP)
3. Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) atau pejabat penerbit Surat Perintah Membayar
yang diberi delegasi oleh KPA, untuk pembayaran kepada pihak ketiga yang
dilakukan dengan mekanisme pembayaran langsung (LS)
Dari sudut objek pemungutan PPh Pasal 22 yang dikecualikan dari pemungutan,
terdapat dua perubahan penting :
1. batas pembelian barang yang tidak dipungut PPh Pasal 22 yang semula Rp1.000.000,-
dinaikkan menjadi Rp2.000.000,-
2. seluruh pembelian barang dalam rangka penggunaan dana Bantuan Operasional
Sekolah (BOS) tidak perlu dipungut PPh Pasal 22
PPh Pasal 22 Atas Pembelian Barang Oleh BUMN Atau BUMD
Sebelum berlakunya Peraturan Menteri Keuangan Nomor 154/PMK.03/2010 ini,
terdapat BUMN dan BUMD yang ditunjuk sebagai pemungut PPh Pasal 22, yaitu :
1. Badan Usaha Milik Negara dan Badan Usaha Milik Daerah, yang melakukan
pembelian barang dengan dana yang bersumber dari belanja negara (APBN) dan/atau
belanja daerah (APBD
2. Bank Indonesia (BI), PT Perusahaan Pengelola Aset (PPA), Perum Badan Urusan
Logistik (BULOG), PT Telekomunikasi Indonesia (Telkom), PT Perusahaan Listrik
Negara (PLN), PT Garuda Indonesia, PT Indosat, PT Krakatau Steel, PT Pertamina,
dan bank-bank BUMN yang melakukan pembelian barang yang dananya bersumber dari
APBN maupun non-APBN.
Nah, dengan berlakunya Peraturan Menteri Keuangan tersebut, BUMN dan BUMD
tersebut tidak lagi ditunjuk sebagai pemungut PPh Pasal 22.
Cara Menghitung PPh Orang Pribadi
Berikut ini adalah langkah-langkah
dalam melakukan perhitungan Pajak Penghasilan (PPh) untuk Wajib Pajak Orang
Pribadi Dalam Negeri secara umum. Perhitungan ini berguna untuk mengisi SPT Tahunan
PPh Orang Pribadi.
Langkah Pertama : Identifikasi Jenis Penghasilan Yang Dikenakan PPh Final.
Penghasilan yang sudah dikenakan Pajak Penghasilan final tidak dihitung lagi
PPh nya dalam SPT Tahunan. Demikian juga PPh Final yang sudah dipotong atau
dibayar tidak akan dikreditkan dalam SPT Tahunan. Beberapa jenis penghasilan
yang dikenakan PPh final di antaranya adalah bunga deposito/tabungan, hadiah
undian, laba dari transaksi penjualan tanah/bangunan, dan penghasilan dari
transaksi penjaualan saham di bursa efek.
Silahkan baca tulisan saya tentang PPh Final pada link berikut : Pajak
Penghasilan Final.
Langkah Kedua : Identifikasi Penghasilan Yang Bukan Objek Pajak
Ada beberapa jenis penghasilan yang bukan merupakan objek pajak berdasarkan
Pasal 4 ayat (3) Undang-undang Pajak Penghasilan di antaranya adalah bantuan,
sumbangan dan warisan. Penghasilan-penghasilan ini tidak dikenakan Pajak
Penghasilan sehingga harus kita keluarkan dari daftar penghasilan yang menjadi
dasar perhitungan Pajak Penghasilan.
Langkah Ketiga : Identifikasi Jenis Penghasilan Selain Penghasilan Yang
Dikenakan PPh Final dan Penghasilan Yang Bukan Objek Pajak
Penghasilan yang tidak dikenakan PPh Final dan juga yang bukan termasuk
penghasilan yang bukan objek pajak inilah yang merupakan dasar kita melakukan
perhitungan Pajak Penghasilan dalam satu tahun pajak yang akan dituangkan dalam
SPT Tahunan PPh Orang Pribadi.
Langkah Keempat : Identifikasi Jenis Penghasilan Yang Objek Pajak Tidak
Final
Setelah kita mendapatkan penghasilan yang merupakan objek pajak tetapi tidak
final sebagaimana dalam langkah ketiga, maka selanjutnya kita identifikasikan
penghasilan-penghasilan ini ke dalam tiga jenis penghasilan yaitu :
1.Penghasilan dari Usaha/Pekerjaan Bebas
2.Penghasilan dari Pekerjaan
3.Penghasilan Lain-lain
Langkah Kelima : Hitung Penghasilan Neto Masing-masing Jenis Penghasilan
Penghasilan neto tiap-tiap jenis penghasilan dihitung dengan cara penghasilan
bruto dikurangi dengan pengurang atau biaya. Masing-masing jenis penghasilan
berbeda jenis pengurangnya. Untuk penghasilan dari usaha/pekerjaan bebas,
pengurangnya adalah biaya-biaya usaha yang terkait dengan usaha/pekerjaan bebas
seperti biaya pegawai, biaya administrasi, biaya pemasaran, biaya penyusutan
atau biaya sewa. Perhatikan juga dalam bagian ini biaya yang dapat dibebankan
(deductible) dan biaya yang tidak dapat dibebankan (non deductible). Untuk
penghasilan dari pekerjaan, pengurangnya adalah iuran pensiun/THT yang berasal
dari gaji dan biaya jabatan. Sementara itu penghasilan lain-lain, seperti
dividen, komisi atau hadiah pengurangnya adalah biaya yang terkait dengan
perolehan penghasilan tersebut.
Langkah Keenam : Jumlahkan Seluruh Penghasilan Neto
Penghasilan neto masing-masing jenis penghasilan kita jumlahkan (termasuk
penghasilan istri yang digabung dan penghasilan anak yang belum dewasa).
Langkah Ketujuh : Hitung Penghasilan Kena Pajak
Penghasilan Kena Pajak diperoleh dari total penghasilan neto dikurang dengan
zakat atas penghasilan, kompensasi kerugian dan Penghasilan Tidak Kena Pajak
(PTKP).
Langkah Kedelapan : Hitung Pajak Penghasilan Terutang
Pajak Penghasilan (PPh) terutang dihitung dengan cara mengalikan Penghasilan
Kena Pajak dengan tarif Pasal 17 atau tarif umum.
Fasilitas
bagi perusahaan terbuka
Bagi perusahaan yang sudah terbuka
(listing di bursa saham) sekarang sudah bisa menikmati fasilitas Pajak
Penghasilan berupa tarif yang lebih rendah 5% dari tarif pajak pada umumnya.
Pada tanggal 30 Desember 2008 telah dikeluarkan Peraturan Menteri Keuangan No.
238/PMK.03/2008 tentang Tata Cara Pelaksanaan dan Pengawasan Pemberian
Penurunan Tarif Bagi Wajib Pajak Badan Dalam Negeri yang Berbentuk Perseroan
Terbuka.
Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan No. 238/PMK.03/2008 ini tarif yang
di UU No.17 Tahun 2000 sebesar semula 30% menjadi 25%. Tarif Ini tentu hanya
berlaku untuk tahu pajak 2008. Sejak tahun pajak 2009, berlaku UU PPh baru
dengan tarif tunggal sebesar 28%. Dan sejak tahun 2010 tarif PPh Badan turun
lagi menjadi hanya 25% saja. Nah bagi perseroan terbuka maka tarif pajak untuk
:
-> tahun 2009 sebesar 23% [yaitu 28% - 5%] dan
-> tahun 2010 sebesar 20% [yaitu 25% - 5%].
Bahkan di UU No. 36 Tahun 2008 yang mulai berlaku sejak tahun pajak 2009,
penurunan tarif ini dimuat di Pasal 17 ayat 2b UU PPh 1984. Bunyi lengkapnya
sebagai berikut :
Wajib Pajak badan dalam negeri yang berbentuk perseroan terbuka yang paling
sedikit 40% (empat puluh persen) dari jumlah keseluruhan saham yang disetor
diperdagangkan di bursa efek di Indonesia dan memenuhi persyaratan tertentu
lainnya dapat memperoleh tarif sebesar 5% (lima persen) lebih rendah daripada
tarif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dan ayat (2a) yang diatur
dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah.
Tetapi tidak semua perseroan terbuka dapat menikmati fasilitas ini. Syarat bagi
perseroan terbuka untuk dapat menikmati penurunan tarif ini adalah :
[1.] Paling sedikit 40% saham disetor milik publik;
[2.] Publik yang memiliki saham paling sedikit 300 pihak. Artinya setiap pihak
paling banyak sekitar 0,13% jika dibagi rata;
[3.] Salah satu atau beberapa pihak harus kurang dari 5% dari total modal
disetor. Jika ada tiga pihak yang memiliki 4% saja maka sisanya 28% harus
dibagi ke 297 pihak.
[4.] Dimiliki setidak-tidaknya 6 bulan atau 183 hari.
Untuk menikmati tarif khusus ini, perseroan terbuka harus melampirkan Surat
Keterangan dari Biro Administrasi Efek berupa formulir X.H.1-6 setiap tahun
atau setiap lapor SPT Tahunan PPh Badan. Perhitungan pajak terutang dengan
tarif khusus ini dijadikan sebagai dasar penghitungan PPh Pasal 25 [cicilan
pajak tahun berjalan yang dibayar setiap bulan]. Hanya saja menurut saya,
contoh perhitungan pajak yang dilampirkan di Peraturan Menteri Keuangan No.
238/PMK.03/2008 ini "salah".
Pada contoh perhitungan PPh Pasal 25 masih menggunakan tarif lama [tarif
progresif] padahal untuk tahun pajak 2009 berlaku tarif tunggal. Memang setelah
saya hitung pajak terhitung justru lebih besar daripada contoh. Menurut saya,
perhitungan PPh Pasal 25 dihitung sebagai berikut :
Penghasilan kena pajak Rp.500.000.000,00
PPh terutang 23% x Rp.500.000.000,00 = Rp. 115.000.000,00
Dikurangi potput : Rp.115.000.000,00 – Rp. 22.500.000,00 = Rp.92.500.000,00
PPh Pasal 25 menjadi Rp.92.500.000,00 / 12 = Rp.7.708.333,00
Sedangkan di contoh yang diberikan PPh Pasal 25 sebesar Rp. 7.500.000,00. Hal
ini terjadi karena pada contoh masih menggunakan tarif progressif. Artinya
penghasilan kena pajak sampai dengan Rp.100.000.000,00 menggunakan tarif 10%
dan 15% sehingga PPh terutang hanya Rp.12.500.000,00 sedangkah dengan tarif
tunggal 23% menjadi Rp.23.000.000,00. Tetapi jika penghasilan kena pajak lebih
besar lagi, misalnya 50 milyar rupiah, maka PPh terutang tentu akan lebih kecil
menggunakan tarif tunggal.
Walaupun demikian, yang harus diikuti tetap contoh di Peraturan Menteri
Keuangan No. 238/PMK.03/2008 berdasarkan Pasal 25 ayat (1) UU PPh 1984 :
Besarnya angsuran pajak dalam tahun pajak berjalan yang harus dibayar sendiri
oleh Wajib Pajak untuk setiap bulan adalah sebesar Pajak Penghasilan yang
terutang menurut Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan tahun pajak yang
lalu.
Memang di Pasal 25 ayat (1) UU PPh 1984 disebutkan “PPh tahun pajak yang lalu”
tetapi karena adanya perbedaan tarif antara tahun pajak 2008 dan tahun pajak
2009 maka akan ada “perbedaan” kredit pajak. Asumsi PPh Pasal 25 selalu sama
antara penghasilan kena pajak tahun sekarang dan tahun yang lalu. Dengan asumsi
ini tentu PPh yang terutang akan sama sehinggal begitu SPT dibuat maka PPh
terutang akan LUNAS dengan PPh Pasal 25. Tidak ada PPh Pasal 29. Walaupun pada
kenyataannya selalu akan beda. Dan walaupun ada perbedaan maka perbedaannya
diharapkan tidak terlalu besar. Inilah filosofi cicilan pajak berupa PPh Pasal
25.
Pajak
Penghasilan Atas Penghasilan Penjualan Tanah / Bangunan
Telah terbit Peraturan Pemerintah
Nomor 71 Tahun 2008 yang mengatur tentang pengenaan Pajak Penghasilan atas
pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan. Peraturan Pemerintah ini adalah
rangkaian Peraturan Pemerintah sebelumnya yang mengatur hal yang sama.
Pertama kali Peraturan Pemerintah yang mengatur hal ini adalah PP Nomor 48
Tahun 1994 yang berlaku mulai 1 Januari 1995. PP ini kemudian diubah dengan PP
Nomor 27 Tahun 1996 dan PP Nomor 79 Tahun 1999. Dengan PP Nomor 79 Tahun 1999
yang mulai berlaku 1 Januari 2000 ini, pengenaan Pajak Penghasilan terhadap
Wajib Pajak yang bergerak
dalam usaha penjualan tanah/bangunan dilakukan dengan cara
biasa, tidak dikenakan PPh final. Ketentuan ini dilatar belakangi oleh kondisi
krisis moneter tahun 1997-1998 yang membuat banyak perusahaan pengembang
mengalami kerugian.
Perubahan terakhir dilakukan dengan terbitnya PP Nomor 71 Tahun 2008. ini
kembali mengenakan PPh final kepada seluruh transaksi pengalihan hak atas tanah
dan bangunan, tidak terkecuali bagi penjualan hak atas tanah/bangunan yang
dilakukan oleh Wajib Pajak yang bergerak dalam bidang penjualan tanah/bangunan.
Bagi Orang Pribadi yang melakukan pengalihan hak atas tanah/bangunan, pengenaan
PPh nya masih final. Begitu juga tarifnya masih 5%. Bagi Wajib Pajak Badan yang
usahanya bukan mengalihkan hak tanah/bangunan (bukan pengembang) yang
mengallihkan hak tanah/bangunan, pengenaan PPh nya tetap 5% namun sifatnya
menjadi final yang sebelumnya tidak final.
Salah satu perubahan penting juga yang dilakukan oleh PP Nomor 71 Tahun 2008
yang akan berlaku mulai 1 Januari 2009 ini adalah adanya tarif khusus 1% (bukan
5%) dan bersifat final atas penghasilan pengalihan hak atas Rumah Sederhana dan
Rumah Susun Sederhana yang dilakukan oleh Wajib Pajak yang usaha pokoknya
melakukan pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan.
Pajak
Penghasilan Atas Penghasilan Penjualan Tanah / Bangunan
Telah terbit Peraturan Pemerintah
Nomor 71 Tahun 2008 yang mengatur tentang pengenaan Pajak Penghasilan atas
pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan. Peraturan Pemerintah ini adalah
rangkaian Peraturan Pemerintah sebelumnya yang mengatur hal yang sama.
Pertama kali Peraturan Pemerintah yang mengatur hal ini adalah PP Nomor 48
Tahun 1994 yang berlaku mulai 1 Januari 1995. PP ini kemudian diubah dengan PP
Nomor 27 Tahun 1996 dan PP Nomor 79 Tahun 1999. Dengan PP Nomor 79 Tahun 1999
yang mulai berlaku 1 Januari 2000 ini, pengenaan Pajak Penghasilan terhadap
Wajib Pajak yang bergerak
dalam usaha penjualan tanah/bangunan dilakukan dengan cara biasa, tidak
dikenakan PPh final. Ketentuan ini dilatar belakangi oleh kondisi krisis
moneter tahun 1997-1998 yang membuat banyak perusahaan pengembang mengalami
kerugian.
Perubahan terakhir dilakukan dengan terbitnya PP Nomor 71 Tahun 2008. ini
kembali mengenakan PPh final kepada seluruh transaksi pengalihan hak atas tanah
dan bangunan, tidak terkecuali bagi penjualan hak atas tanah/bangunan yang
dilakukan oleh Wajib Pajak yang bergerak dalam bidang penjualan tanah/bangunan.
Bagi Orang Pribadi yang melakukan pengalihan hak atas tanah/bangunan, pengenaan
PPh nya masih final. Begitu juga tarifnya masih 5%. Bagi Wajib Pajak Badan yang
usahanya bukan mengalihkan hak tanah/bangunan (bukan pengembang) yang
mengallihkan hak tanah/bangunan, pengenaan PPh nya tetap 5% namun sifatnya
menjadi final yang sebelumnya tidak final.
Salah satu perubahan penting juga yang dilakukan oleh PP Nomor 71 Tahun 2008
yang akan berlaku mulai 1 Januari 2009 ini adalah adanya tarif khusus 1% (bukan
5%) dan bersifat final atas penghasilan pengalihan hak atas Rumah Sederhana dan
Rumah Susun Sederhana yang dilakukan oleh Wajib Pajak yang usaha pokoknya
melakukan pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan.
Pajak Penghasilan Final Atas Tanah dan/atau
Bangunan
Ruang Lingkup
Penghasilan berupa sewa atas tanah dan atau bangunan berupa tanah, rumah, rumah
susun, apartemen, kondominium, gedung perkantoran, gedung pertokoan, atau
gedung pertemuan termasuk bagiannya, rumah kantor, toko, rumah toko, gudang dan
bangunan industri, dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat final;
Tarif dan Dasar Pengenaan Pajak
Besarnya Pajak Penghasilan Final yang terutang bagi Wajib Pajak Orang Pribadi
maupun Badan yang menerima atau memperoleh penghasilan sewa tanah dan/atau
bangunan adalah sebesar
10% dari nilai bruto nilai persewaan.
Yang dimaksud dengan jumlah bruto nilai persewaan adalah semua jumlah yang
dibayarkan atau terutang oleh pihak yang menyewa dengan nama dan dalam bentuk
apapun yang berkaitan dengan tanah dan atau bangunan yang disewa, termasuk
biaya perawatan, biaya pemeliharaan, biaya keamanaan dan service charge baik
yang perjanjiannya dibuat secara terpisah maupun yang disatukan dengan
perjanjian persewaan yang bersangkutan.
Kesimpulan
Pengertian pajak menurut
Undang-undang Nomor 28 tahun 2007 tentang Ketentuan Umum Dan Tata Cara
Perpajakan (UU KUP) adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang
oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang,
dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan
negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Lima unsur pokok dalam defenisi pajak :
1. Iuran / pungutan
2. Pajak dipungut berdasarkan undang-undang
3. Pajak dapat dipaksakan
4. Tidak menerima kontra prestasi
5. Untuk membiayai pengeluaran umun pemerintah
Jenis-jenis Pajak
Secara umum jenis pajak dibedakan menjadi pajak pusat dan pajak daerah. Contoh
dari pajak pusat adalah:
1. Pajak Penghasilan (PPh)
2. Pajak Pertambahan Nilai (PPN)
3. Pajak Penjualan Barang Mewah (PPnBM)
4. Pajak Bumi dan Bangunan (PBB)
Khusus jenis pajak Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) mulai tahun 2012
pengelolaannya disebagian dialihkan kepada Pemerintah Daerah (Pemda).
Setelah kita mengetahui dan memahami pengertian serta jenis-jenis pajak,
selanjutnya kita fokus pada pembahasan tentang Pajak Penghasilan (PPh).
Pengertian Pajak Penghasilan (PPh) adalah :
Pajak yang dikenakan terhadap Subjek Pajak Penghasilan atas Penghasilan
yang diterima atau diperolehnya dalam tahun pajak.
Subjek pajak tersebut dikenai pajak apabila menerima atau memperoleh
penghasilan. Subjek pajak yang menerima atau memperoleh penghasilan, dalam
Undang-Undang No. 36 tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan (PPh) disebut Wajib
Pajak. Wajib Pajak dikenai pajak atas penghasilan yang diterima atau
diperolehnya selama satu tahun pajak atau dapat pula dikenai pajak untuk
penghasilan dalam bagian tahun pajak apabila kewajiban pajak subjektifnya
dimulai atau berakhir dalam tahun pajak.
Pajak Penghasilan merupakan jenis pajak subjektif yang kewajiban pajaknya
melekat pada Subjek Pajak yang bersangkutan, artinya kewajiban pajak tersebut
dimaksudkan untuk tidak dilimpahkan kepada Subjek Pajak lainnya. Oleh karena
itu dalam rangka memberikan kepastian hukum, penentuan saat mulai dan
berakhirnya kewajiban pajak subjektif menjadi penting.
Subjek Pajak Penghasilan
Subjek PPh adalah orang pribadi; warisan yang belum terbagi sebagai satu
kesatuan, menggantikan yang berhak; badan; dan bentuk usaha tetap (BUT).
Subjek Pajak terdiri dari
1. Subjek Pajak Dalam Negeri
2. Subjek Pajak Luar Negeri.
Subjek Pajak Dalam Negeri adalah :
- Orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia atau yang berada di
Indonesia lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu
12 (dua belas) bulan, atau yang dalam suatu tahun pajak berada di Indonesia dan
mempunyai niat untuk bertempat tinggal di Indonesia.
- Badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia, meliputi
Perseroan Terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, Badan Usaha Milik
Negara atau Daerah dengan nama dan dalam bentuk apapun, firma, kongsi,
koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa,
organisasi sosial politik atau organisasi yang sejenis, lembaga, bentuk usaha
tetap dan bentuk badan lainnya termasuk reksadana.
- Warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan, menggantikan yang berhak.
Subjek Pajak Luar Negeri adalah :
- Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia atau berada di
Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka
waktu 12 (dua belas) bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat
kedudukan di Indonesia yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui
BUT di Indonesia;
- Orang Pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia atau berada di
Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan, dan badan yang
tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia yang dapat menerima
atau memperoleh panghasilan dari Indonesia bukan dari menjalankan usaha atau;
- melakukan kegiatan melalui BUT di Indonesia.
SUMBER: http://kunci-pajak.blogspot.com/